KESEHATAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN AS-SUNNAH
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan
tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang
digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan
Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat
afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan
dengan “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat
(sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan
serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian
dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan
istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan
masyarakat.
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu
digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui
pengertian yang dikandung oleh kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang
berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya
(secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat
mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat
wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang
berarti “dan” adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan
adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang
disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan
makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw.
ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di
samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai
“perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu
daya”. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara
sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan
petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai:
“berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan
penciptaannya.”
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap
anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat
adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan
kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan
membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari
objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari
penciptaan mata.
KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal
berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai
“ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia,
sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan
(tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.”
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ
اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ
وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ
لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Terjemah:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw
telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari
dan dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya
Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua
itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu,
sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak
atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat
al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik,
dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada
pengobatan.”
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak
petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah
pada upaya pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah
adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat
(taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ
أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Terjemah:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah
kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS
al-Baqarah [2]: 222)
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(5)
Terjemah:
Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt.
Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi:
النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
Terjemah:
Kebersihan adalah bagian dari iman.
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if.
Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung
makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ
أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Terjemah:
Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya
adalah ucapan “Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah sebagian dari
iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan,
bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau
buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon,
adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam
dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal
‘karantina’, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu
sabdanya,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
Terjemah:
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah
mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu,
janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin
Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama
penyakit: Al-Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak
sekali tuntutan — baik dari al-Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang
berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ
كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
Terjemah:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf
[7]: 31)
Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا
مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ
أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Terjemah:
Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra
putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa
suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka
sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga
sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat at-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan
maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat
mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M.)
menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman
tersebut rijs.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Terjemah:
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau
kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh
seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya
Child Between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis
Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel
bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang
dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia
belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen
dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa
perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam
hal ini, al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah,
mengemukakan sabda Nabi Saw.:
المَرَضُ سَوْطُ اللهِ فِى الأَرْضِ يُؤَدِّبُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ
Terjemah:
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada
dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat.
Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum
alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa makanan yang kotor
mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan
siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
Terjemah:
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali
diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu
ketuaan (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi —
Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:
Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia.
Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang
dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau
diperjualbelikan.
Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.
Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.
Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang
telah wafat, maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa
“transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan
selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati – terjaga
sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan
pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin
dapat menyalahgunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan
dosa, terutama bagi “pemilik” organ (jenazah), atau orang yang
mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat
diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak
menuntut pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang
tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan
jasmaninya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ
إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
وَأَعْمَالِكُمْ
Terjemah:
Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh
Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di
atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan
dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan,
maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa.
Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan
terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari
dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ
فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا
فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا
بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي
الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Terjemah:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah
[5]: 32).
“Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara
kehidupan”, tetapi juga dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan
hidup” dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang
kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya
hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab
atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s.
yang diabadikan al-Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80,
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Terjemah:
Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.
KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit
perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali,
tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَخِي اسْتَطْلَقَ بَطْنُهُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْقِهِ عَسَلًا
فَسَقَاهُ ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّي سَقَيْتُهُ عَسَلًا فَلَمْ
يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا فَقَالَ لَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ جَاءَ
الرَّابِعَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا فَقَالَ لَقَدْ سَقَيْتُهُ فَلَمْ
يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ فَسَقَاهُ
فَبَرَأَ
Terjemah:
Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki datang kepada
Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki
itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi
s.a.w. dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut
beliau bertambah memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada
kali yang keempat, Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum]
madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan: Aku benar-benar telah
memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah mulas. Maka
Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalam minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh
sebab itu, mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu.
Akhirnya Rasulullah s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan
sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa.
Mereka yang lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang
memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian
kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut
ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan
ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi
berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para
orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang
digendong, kemudian ‘pipis’ [kencing] membasahi pakaian Nabi.
Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi [lalu]
menegurnya, dengan bersabda:
مَهْلًا بِأُمِّ الْفَضْلِ إِنَّ هَذَا الإِرَقَةَ المَاءُ يُطَهِّرُهَا فأَيُّ شَيْءٍ يَزِيْلُ هَذَا الغُبَارَ عَنْ قَلْبِهِ
Terjemah:
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar.
Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat
menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian
kompleksitas gejala sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat
diketahui penyebab utamanya adalah pada perlakuan yang diterimanya
sebelum dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak
dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh.
Kata qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal dan
hati.” Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara
rinci pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan kata tersebut
sebagai “segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik,
mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang.”
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan
adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda.
Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal-ganda
(jâhil murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada
keraguan dan kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun
beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci,
dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan
karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut,
cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah
mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi
firman Allah dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 88-89,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ(88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(89)
Terjemah:
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari
segala macam penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan (Allah). Karena itulah Allah berfirman:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Terjemah:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (QS al-Ra’d [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan.
(Disadur dan dimodifikasai dari tulisan M. Quraish Shihab dalam buku
Wawasan al-Quraan
0 komentar:
Posting Komentar